Berkurangnya peran pemuda dan pemudi
jaman sekarang dalam melestarikan budaya dan bahasa Indonesia, tidak luput dari
era globalisasi yang semakin hari semakin melonjak bak senapan yang ditembakan
di udara. Budaya dan bahasa asing yang perlahan-lahan menggerogoti Negara
sendiri pun tak pandang bulu melihat apa yang sudah para Pahlawan perjuangkan
sewaktu belum merdeka dulu. Sungguh ironi memang. Kenyamanan dan kedamaian yang
didapat,malah menjadikan masyarakatnya amburadul tak karuan. Generasi mudanya
apalagi. Jiwa nasionalisme yang rendah, pendidikan yang dianggap sebelah mata
dan keinginan ini-itu yang tak ada habisnya. Mereka lebih menikmati menonton
konser musik, berjalan-jalan di mall
atau hanya sekedar ngobrol dan nongkrong di cafe berjam-jam sambil “bergaya”.
Daripada menonton pertunjukan wayang, melihat-lihat museum, dan membaca buku di
perpustakaan.
Kekayaan
Negeri yang melimpah ini justru dibarengi dengan memudarnya sikap bijak
pemuda-pemudi bangsa dalam menentukan masa depan mereka. Keinginan yang
menggebu-gebu untuk menjadikan Garuda sebagai lambang Negara memang sudah
terwujud tetapi pengabdian yang jelas dan kepribadian yang menginspirasi
tampaknya sulit dijalani. Keragaman bahasa dan budaya tidak digunakan
sepenuhnya dalam mencari jati diri yang pasti. Bukannya menolak setiap budya
asing yang masuk tanpa henti, tetapi menjadikan cermin untuk memperbaiki bangsa
sendiri. Mengambil sisi positif dan membuang jauh-jauh sisi negatif yang
ditimbulkan. Menjadikan cambukan setiap kekurangan agar menjadi kelebihan yang
memiliki arti nyata tetapi tetap memprioritaskan bangsa sebagai yang utama.